Namanya Ben Carson. Lahir di Detroit, Michigan tahun 1951. Dia dan saudara laki-lakinya hanya dibesarkan oleh ibunya. Sang ayah meninggal saat Ben belum mengerti aksara. Ibunya sering bekerja di dua atau tiga tempat untuk menopang hidup mereka.

Sewaktu kecil ia sangat benci membaca. Selalu langganan juara, peringkat pertama dari urutan paling bawah kelasnya. Di kelas lima, setelah ulangan matematika, gurunya meminta masing-masing anak menyebutkan nilai mereka. Ben mendapatkan kembali hasil ulangan yang sudah dikoreksi teman di bangku belakangnya. Berapa nilainya? NOL dari tiga puluh soal!

Ben mencoba menggumamkan, ”none (tidak ada)”, berharap gurunya akan salah dengar. Dan memang itu yang terjadi. Sang guru berpikir Ben mengatakan “nine (sembilan)”, dan guru itu memujinya begitu tinggi. Sampai gadis di belakangnya tak dapat menahan diri dan segera mengoreksi. Apa yang terjadi? Seisi kelas tertawa keras. Ben merasa sangat terhina, ingin lari dan menghilang selamanya.

Sebelum insiden tak terlupakan itu, Ben mendengar berita tentang para dokter yang punya misi membantu banyak orang di negeri-negeri yang jauh. Ia katakan pada ibunya, bahwa kelak ia ingin menjadi salah satu bagian diantara mereka.

Dan ketika ia menceritakan kejadian memalukan di kelas matematikanya, sang ibu berkata, ”Kamu tidak akan pernah menjadi seorang dokter jika kamu tidak mulai membaca buku. Tapi kamu bisa menjadi apapun yang kamu inginkan jika kamu melakukan itu!”

Sejak saat itu, setiap kali Ben menyalakan televisi, ibunya mengatakan untuk membaca saja. Ben dan saudara laki-lakinya juga harus membuat resensi dari buku yang dibaca. Begitu tegasnya sang ibu, sampai mereka selalu dipaksa menyerahkan resensinya. Walaupun akhirnya bertahun-tahun kemudian ia tahu, resensi yang Ben tulis tak pernah dibaca sang ibu. Karena ibunya memang tak bisa membaca. Ibunya adalah seorang yang tidak tamat pendidikan dasar kelas tiga! Tapi semakin banyak ia membaca, semua buku semakin menarik hatinya, dan segera saja ia melahapnya. Dan dalam waktu dua tahun, ia bangkit! Dari peringkat buncit meraih peringkat selangit!

Duka masih berlanjut. Ben punya watak berang yang menakutkan. Ben ingat, suatu ketika ia pernah mencoba menghantam kepala ibunya dengan martil. Sebabnya sepele, ia tak mau memakai pakaian yang diinginkan ibunya. Ia juga pernah menorehkan luka sepanjang tiga inci dengan gembok di dahi teman sekelasnya, hanya karena anak itu mencoba menutup loker Ben.

Puncaknya di usia empat belas. Ben menikam perut seorang teman dengan pisau ketika temannya itu akan mengganti stasiun radio yang sedang mereka dengarkan. Beruntung, pisau itu mengenai bagian logam sabuk temannya. Dan temannya selamat. Tapi kejadian ini begitu mengguncang Ben. Sampai waktu ia pulang ke rumah, ia mengunci diri dan merenung dalam-dalam.

Ia tahu, sekalipun nilainya bagus, ia bisa masuk penjara atau sekolah anak nakal karena kemarahannya. Dan tentu, tidak akan pernah menjadi dokter seperti yang Ben inginkan.

Ben habiskan berjam-jam untuk berdo’a agar kemarahannya hilang. Dan ketika ia keluar, marahnya pun hilang. Ia sadar. Ia paham. Dengan apa yang ia lakukan. Juga dengan apa yang ia cita-citakan.

Tahun terakhir di sekolah menengah atas, ia harus memilih perguruan tinggi. Tapi saat itu, tiap form pendaftaran perguruan tinggi harganya $10. Dan Ben cuma punya uang $10. Artinya, ia hanya bisa mencoba di satu universitas. Sekali atau tidak sama sekali! Setelah melihat tim Yale mengalahkan tim Harvard dalam acara TV favoritnya, College Bowl, ia memilih Universitas Yale.

Dia diterima! Lengkap dengan beasiswa akademis yang menutup sebagian besar biaya kuliah kedokterannya!

Ben bekerja keras di Yale. Ia membaca lebih banyak daripada yang ditugaskan dosen-dosennya. Lulus dari Yale, ia masuk Fakultas Kedokteran Universitas Michigan. Dimana ia menemukan keahlian bedahnya. Lagi-lagi ia memegang pisau di tangannya. Tapi kali ini untuk menyelamatkan nyawa orang lain, bukan sebaliknya.

Selama kerja praktek di rumah sakit, Ben menemukan kecintaannya pada bedah syaraf. Seiring dengan kemampuan alamiahnya, ditambah kebiasaan bacanya yang makin menggila, juga usaha belajarnya yang luar biasa, membuat Ben berada di posisi teratas bidang ini dalam waktu yang tidak lama.

Ketika siap memulai magang, ia mengajukan diri ke Rumah Sakit Johns Hopskins. Setiap tahun rumah sakit ini menerima lebih dari 125 lamaran untuk bergabung dengan bagian bedah syaraf dan yang diterima hanya 2 orang! Tapi Ben tak gentar. Ia ingat kata-kata ibunya, ia dapat menjadi apapun yang ia inginkan jika berusaha!

Ben termasuk satu diantara dua orang yang beruntung itu. Ia diterima di Johns Hopskins. Ben selalu memperlakukan setiap orang dengan sikap hormat yang sama. Meskipun sebagian perawat menganggapnya pesuruh karena berkulit hitam. Bahkan sebagian pasien pun tidak mengijinkan Ben menyentuh mereka (lagi-lagi) karena kulit hitamnya.

Semua perlakuan rasisme menyakitkan itu tak menghalanginya menyelesaikan magang dalam satu tahun saja. Padahal umumnya, magang ini baru bisa diselesaikan dalam waktu dua tahun lamanya. Kemudian Ben mengambil delapan semester residensi di sana.

Tahun 1984, ia bisa mendongakkan kepala. Ia diangkat sebagai direktur bedah syaraf pediatrik di Johns Hopskins pada usia tiga puluh tiga! Menjadi pimpinan bedah syaraf pediatrik termuda dalam sejarah Amerika! Lalu ia mulai menangani beberapa kasus yang sangat penting.

Salah satu kasusnya adalah gadis empat belas tahun yang menderita ayan parah, yang kadang-kadang membuat gadis itu kejang seratus kali dalam sehari. Ben dan timnya melakukan operasi berbahaya. Mereka mengangkat sisi kiri otaknya (hemisferektomi). Jika berhasil, gadis itu akan bebas dari kejang-kejang. Tapi jika gagal, resikonya adalah kematian. Dan pembedahan itu sukses!

Ben juga merupakan dokter bedah utama dalam operasi dua puluh dua jam yang dramatis di tahun 1987. Ia berhasil memisahkan kembar siam dari Jerman Barat yang menyatu bagian belakang kepalanya!

Dulu Ben memang NONE, tapi dengan semangat dan usahanya, sekarang ia sudah mencapai NINE! From NONE to NINE!!!

“Dengan berpikir BESAR, kita dapat mengubah dunia kita” – Benjamin S. Carson Sr., MD

Oleh: Ainun Nahaar

Referensi:
Ben Carson, with Cecil Murphey. 1992. Think Big. Grand Rapids, MI: Zondervan.
Sandra McLeod Humphrey. 2007. Berani Bermimpi! (terj.) Jakarta: Banana.

Satu tanggapan »

  1. prissy berkata:

    pak fattan memang benar-benar fantastik..
    Terima kasih motivasinya

Tinggalkan Balasan ke ujiankusukses Batalkan balasan